Di Indonesia dan banyak negara, kami telah mengajarkan matematika dari pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika di Indonesia, antara lain pemutakhiran kurikulum, penyediaan perangkat pendukung, penyediaan alat peraga, dan pelatihan guru matematika. Namun upaya tersebut belum memberikan hasil yang menggembirakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika.
Tantangan masa depan yang selalu berubah dan persaingan yang semakin ketat menuntut lulusan pendidikan yang terampil dalam satu bidang serta kritis dan kreatif dalam mengembangkan bidangnya. Hal ini perlu diterapkan pada setiap mata pelajaran di sekolah, khususnya matematika. Oleh karena itu, standar kompetensi kurikulum 2013 menyatakan bahwa siswa diharapkan memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013). Kompetensi yang dimaksudkan untuk dijelaskan dalam standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah pada mata pelajaran matematika telah dinyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis. , dan kreatif, serta mampu bekerjasama (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006). Sehingga muatan kurikulum harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni, membangun rasa ingin tahu dan kemampuan siswa untuk mengikuti dan memanfaatkan hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara maksimal.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terpadu kompetensi dan berbasis karakter yang menyempurnakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini dinilai mengikuti program pendidikan yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan tersebut terlihat pada beberapa ciri kurikulum 2013 yaitu pendekatan saintifik dan penilaian otentik dalam pembelajaran. Namun fakta lapangan menunjukkan bahwa siswa masih mengalami kendala dalam belajar di sekolah, salah satunya Matematika. Saat pembelajaran berlangsung, siswa akan dihadapkan pada kendala belajar. Dalam Brousseau (2006), Bachelard dan Piaget menyatakan bahwa kesalahan siswa bukan semata-mata karena ketidaktahuan yang dimiliki tetapi merupakan akibat dari ilmu yang telah dimiliki yang ternyata salah. Jenis kesalahan ini tidak menentu dan tidak dapat diprediksi, yang merupakan kendala.
Brousseau (2006) menyatakan bahwa ada tiga jenis hambatan yang dibagi menurut sistem (guru-siswa-materi) —lihat pula Rahmawati dan Purnomo (2020), yaitu hambatan ontogenik muncul karena keterbatasan yang dimiliki siswa pada tahap perkembangan. Salah satunya adalah ketidaksiapan mental siswa karena perkembangan mental dan kognitifnya jauh tertinggal dari perkembangan biologis. Hambatan didaktik merupakan kendala yang dialami siswa karena adanya transfer ilmu dari guru kepada siswa. Kendala ini sangat terkait dengan cara guru menyampaikan materi kepada siswa. Lebih lanjut, kendala epistemologis ini disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan seseorang dalam konteks tertentu. Jika siswa dihadapkan pada konteks yang berbeda, mereka akan mengalami hambatan seolah-olah pengetahuannya tidak ada gunanya.
Menurut Rahardjo dan Waluyati (2011), bentuk soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika dapat berupa soal cerita atau soal non cerita. Soal tersebut erat kaitannya dengan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari siswa untuk mencari penyelesaiannya menggunakan kalimat matematika yang mengandung bilangan, operasi hitung (+, -, x, :), dan relasi (=, <,>, ≤, ≥) . Materi cerita berguna untuk melatih perkembangan proses berpikir siswa secara berkelanjutan untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan, namun kondisi pembelajaran matematika di tingkat SD terutama yang masih sering menggunakan metode ceramah atau menjelaskan di depan kelas apakah materi tersebut telah disampaikan kepada siswa, menyebabkan siswa menerima pelajaran matematika secara pasif dan dihapal. Akibatnya, ketika siswa diberikan soal matematika yang sedikit berbeda dengan contoh yang diberikan guru, siswa menyelesaikannya dengan menggunakan pengetahuannya, yang terkadang tidak sesuai prosedur yang sebenarnya. Sehingga terjadi kesalahan saat menyelesaikan masalah matematika tersebut.
Kesalahan siswa perlu dianalisis untuk mengetahui variasi kesalahan yang dilakukan siswa. Melalui analisis kesalahan akan diperoleh jenis dan lokasi kesalahan yang dilakukan siswa, sehingga guru dapat memberikan jenis bantuan yang tepat kepada siswa. Menurut Kurniasari (2007), letak kesalahan berkaitan dengan kesalahan siswa dalam menentukan langkah-langkah pemecahan masalah, sedangkan jenis kesalahan berkaitan dengan kesalahan perhitungan dan konsep pemecahan masalah. Dengan melakukan analisis kesalahan, siswa mendapatkan gambaran yang jelas dan rinci tentang kelemahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa dapat dijadikan bahan pertimbangan pengajaran untuk meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Peningkatan kegiatan belajar mengajar diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar atau prestasi belajar siswa.
Dalam menyelesaikan masalah matematika siswa melakukan proses berpikir sehingga siswa dapat menemukan jawaban. Berpikir adalah proses yang dimulai dari menerima informasi dari dunia luar atau dalam diri siswa, memproses, menyimpan, dan memanggil informasi dari dalam memori, dan mengubah struktur kognitif. Dalam proses berpikir, pemrosesan informasi berlangsung untuk memasuki skema (struktur kognitif) di otak manusia.
Tujuan dari proses pembelajaran adalah memperoleh pengetahuan baru. Dalam proses pengembangan pengetahuan, seorang individu seringkali mengalami hambatan. Hambatan belajar merupakan kendala atas kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Kesulitan yang dihadapi siswa saat belajar tidak selalu sama, hal ini terjadi karena siswa memiliki kendala yang berbeda-beda dalam belajar. Dengan kata lain kendala atau kesulitan belajar tersebut tidak dapat dihindari karena merupakan bagian dari setiap proses pembelajaran.
Brousseau (2006) mengemukakan tiga jenis hambatan belajar yaitu hambatan ontogenik, epistemologis, dan didaktis dalam proses pembelajaran. Hambatan ontogenik adalah jenis kesulitan yang dialami siswa terkait dengan kesiapan anak dalam belajar. Salah satunya adalah ketidaksiapan mental siswa karena perkembangan mental dan kognitifnya jauh tertinggal dari perkembangan biologis. Duroux menyatakan bahwa epistemological obstacle merupakan salah satu jenis kesulitan belajar karena konteks yang terbatas digunakan pada saat konsep pertama kali dipelajari (Brousseau, 2006). Jika siswa dihadapkan pada konteks yang berbeda, mereka akan mengalami hambatan seolah-olah pengetahuannya tidak ada gunanya. Hambatan didaktis merupakan kendala yang dialami siswa karena adanya transfer ilmu dari guru kepada siswa. Kendala ini sangat terkait dengan cara guru menyampaikan materi kepada siswa. Dengan kata lain ilustrasi ini merupakan kesulitan belajar yang disebabkan oleh keadaan desain didaktik yang digunakan atau intervensi didaktik dari guru (Suryadi, 2015).
Cornu membedakan empat jenis hambatan yaitu hambatan kognitif, hambatan genetik dan psikologis, hambatan didaktik, dan hambatan epistemologis (Sukirno & Ramadhani, 2016). Lebih lanjut menurut Cornu, hambatan kognitif terjadi ketika siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran. Hambatan genetik dan psikologis terjadi sebagai akibat dari perkembangan pribadi siswa. Hambatan didaktik terjadi karena guru mengajarkan kodrat, dan hambatan epistemologis terjadi karena kodrat konsep matematika itu sendiri.
Dalam Maudy, Suryadi, dan Mulyana (2017), Herscovics menjelaskan bahwa perkembangan pengetahuan ilmiah individu mengalami banyak masalah epistemologis, dimana skema konseptual pada siswa mengalami kendala kognitif. Herscovics lebih memilih menggunakan istilah batasan kognitif dalam proses pembelajaran dan istilah batasan epistemologis jika mengacu pada masa lalu. Hambatan atau hambatan epistemologis berkaitan dengan hambatan kognitif, hambatan didaktik, dan hambatan ontogenetik.
Hambatan epistemologis pertama kali dikenalkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan oleh Bachelard (Hanafi, 2015). Perkembangan pengetahuan ilmiah terjadi dalam situasi didaktik dan melalui konsep lompatan informasi (Brousseau, 2006). Lompatan informasi adalah perolehan pengetahuan yang tidak dirasakan. Jika lompatan informasi terhambat, kendala epistemologis terjadi. Hambatan epistemologis dapat menyebabkan kemandegan pengetahuan ilmiah bahkan penurunan pengetahuan seseorang. Menurut Hercovics yang diidentifikasi dari karya Bachelard, kendala epistemologis terdiri dari kecenderungan untuk mengandalkan penipuan pengalaman intuitif, kecenderungan untuk menggeneralisasi dan disebabkan oleh penggunaan bahasa alami.
Dalam penelitian ini ditemukan hambatan belajar, terutama hambatan epistemologis dalam menyelesaikan masalah cerita matematika berdasarkan gaya kognitif siswa. Hambatan epistemologis yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kesalahan konsep, kesalahan prosedur, dan kesalahan teknis.
Secara alamiah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah berbeda-beda, sehingga ada kemungkinan kesalahan yang ditimbulkan juga berbeda-beda. Selain itu, siswa juga dapat berbeda dalam cara mereka mendekati situasi pembelajaran, bagaimana menerima, mengatur, dan menghubungkan pengalaman mereka. Siswa memiliki cara yang mereka sukai untuk menyusun apa yang mereka lihat, ingat, dan pikirkan. Perbedaan individu yang permanen dalam cara mengumpulkan dan mengelola informasi dan pengalaman dikenal sebagai gaya kognitif. Woolfolk menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan cara seseorang menerima dan mengatur informasi dari lingkungan sekitarnya (Hidayat, Sugiarto, & Pramesti, 2013). Perbedaan gaya kognitif terkait dengan cara seseorang merasakan, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, membuat keputusan, yang mencerminkan kebiasaan bagaimana informasi diproses.
Dalam Hidayat et al. (2013), Woolfolk menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan cara seseorang menerima dan mengatur informasi dari lingkungan sekitarnya. Perbedaan gaya kognitif terkait dengan cara seseorang merasakan, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, membuat keputusan, yang mencerminkan kebiasaan bagaimana informasi diproses. Dalam Uno (2006), Ausburn merumuskan bahwa gaya kognitif mengacu pada proses kognitif seseorang yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, pengetahuan, persepsi, pemikiran, imajinasi, dan pemecahan masalah.
penulis : Nina Afriliani_1F_PGSD
NIM : 2001025343
Sumber : Sebagaimana telah dibahas dalam Jurnal Inovasi Pendidikan Dasa FKIP UHAMKA.
Tantangan masa depan yang selalu berubah dan persaingan yang semakin ketat menuntut lulusan pendidikan yang terampil dalam satu bidang serta kritis dan kreatif dalam mengembangkan bidangnya. Hal ini perlu diterapkan pada setiap mata pelajaran di sekolah, khususnya matematika. Oleh karena itu, standar kompetensi kurikulum 2013 menyatakan bahwa siswa diharapkan memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013). Kompetensi yang dimaksudkan untuk dijelaskan dalam standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah pada mata pelajaran matematika telah dinyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis. , dan kreatif, serta mampu bekerjasama (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006). Sehingga muatan kurikulum harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni, membangun rasa ingin tahu dan kemampuan siswa untuk mengikuti dan memanfaatkan hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara maksimal.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terpadu kompetensi dan berbasis karakter yang menyempurnakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini dinilai mengikuti program pendidikan yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan tersebut terlihat pada beberapa ciri kurikulum 2013 yaitu pendekatan saintifik dan penilaian otentik dalam pembelajaran. Namun fakta lapangan menunjukkan bahwa siswa masih mengalami kendala dalam belajar di sekolah, salah satunya Matematika. Saat pembelajaran berlangsung, siswa akan dihadapkan pada kendala belajar. Dalam Brousseau (2006), Bachelard dan Piaget menyatakan bahwa kesalahan siswa bukan semata-mata karena ketidaktahuan yang dimiliki tetapi merupakan akibat dari ilmu yang telah dimiliki yang ternyata salah. Jenis kesalahan ini tidak menentu dan tidak dapat diprediksi, yang merupakan kendala.
Brousseau (2006) menyatakan bahwa ada tiga jenis hambatan yang dibagi menurut sistem (guru-siswa-materi) —lihat pula Rahmawati dan Purnomo (2020), yaitu hambatan ontogenik muncul karena keterbatasan yang dimiliki siswa pada tahap perkembangan. Salah satunya adalah ketidaksiapan mental siswa karena perkembangan mental dan kognitifnya jauh tertinggal dari perkembangan biologis. Hambatan didaktik merupakan kendala yang dialami siswa karena adanya transfer ilmu dari guru kepada siswa. Kendala ini sangat terkait dengan cara guru menyampaikan materi kepada siswa. Lebih lanjut, kendala epistemologis ini disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan seseorang dalam konteks tertentu. Jika siswa dihadapkan pada konteks yang berbeda, mereka akan mengalami hambatan seolah-olah pengetahuannya tidak ada gunanya.
Menurut Rahardjo dan Waluyati (2011), bentuk soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika dapat berupa soal cerita atau soal non cerita. Soal tersebut erat kaitannya dengan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari siswa untuk mencari penyelesaiannya menggunakan kalimat matematika yang mengandung bilangan, operasi hitung (+, -, x, :), dan relasi (=, <,>, ≤, ≥) . Materi cerita berguna untuk melatih perkembangan proses berpikir siswa secara berkelanjutan untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan, namun kondisi pembelajaran matematika di tingkat SD terutama yang masih sering menggunakan metode ceramah atau menjelaskan di depan kelas apakah materi tersebut telah disampaikan kepada siswa, menyebabkan siswa menerima pelajaran matematika secara pasif dan dihapal. Akibatnya, ketika siswa diberikan soal matematika yang sedikit berbeda dengan contoh yang diberikan guru, siswa menyelesaikannya dengan menggunakan pengetahuannya, yang terkadang tidak sesuai prosedur yang sebenarnya. Sehingga terjadi kesalahan saat menyelesaikan masalah matematika tersebut.
Kesalahan siswa perlu dianalisis untuk mengetahui variasi kesalahan yang dilakukan siswa. Melalui analisis kesalahan akan diperoleh jenis dan lokasi kesalahan yang dilakukan siswa, sehingga guru dapat memberikan jenis bantuan yang tepat kepada siswa. Menurut Kurniasari (2007), letak kesalahan berkaitan dengan kesalahan siswa dalam menentukan langkah-langkah pemecahan masalah, sedangkan jenis kesalahan berkaitan dengan kesalahan perhitungan dan konsep pemecahan masalah. Dengan melakukan analisis kesalahan, siswa mendapatkan gambaran yang jelas dan rinci tentang kelemahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa dapat dijadikan bahan pertimbangan pengajaran untuk meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Peningkatan kegiatan belajar mengajar diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar atau prestasi belajar siswa.
Dalam menyelesaikan masalah matematika siswa melakukan proses berpikir sehingga siswa dapat menemukan jawaban. Berpikir adalah proses yang dimulai dari menerima informasi dari dunia luar atau dalam diri siswa, memproses, menyimpan, dan memanggil informasi dari dalam memori, dan mengubah struktur kognitif. Dalam proses berpikir, pemrosesan informasi berlangsung untuk memasuki skema (struktur kognitif) di otak manusia.
Tujuan dari proses pembelajaran adalah memperoleh pengetahuan baru. Dalam proses pengembangan pengetahuan, seorang individu seringkali mengalami hambatan. Hambatan belajar merupakan kendala atas kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Kesulitan yang dihadapi siswa saat belajar tidak selalu sama, hal ini terjadi karena siswa memiliki kendala yang berbeda-beda dalam belajar. Dengan kata lain kendala atau kesulitan belajar tersebut tidak dapat dihindari karena merupakan bagian dari setiap proses pembelajaran.
Brousseau (2006) mengemukakan tiga jenis hambatan belajar yaitu hambatan ontogenik, epistemologis, dan didaktis dalam proses pembelajaran. Hambatan ontogenik adalah jenis kesulitan yang dialami siswa terkait dengan kesiapan anak dalam belajar. Salah satunya adalah ketidaksiapan mental siswa karena perkembangan mental dan kognitifnya jauh tertinggal dari perkembangan biologis. Duroux menyatakan bahwa epistemological obstacle merupakan salah satu jenis kesulitan belajar karena konteks yang terbatas digunakan pada saat konsep pertama kali dipelajari (Brousseau, 2006). Jika siswa dihadapkan pada konteks yang berbeda, mereka akan mengalami hambatan seolah-olah pengetahuannya tidak ada gunanya. Hambatan didaktis merupakan kendala yang dialami siswa karena adanya transfer ilmu dari guru kepada siswa. Kendala ini sangat terkait dengan cara guru menyampaikan materi kepada siswa. Dengan kata lain ilustrasi ini merupakan kesulitan belajar yang disebabkan oleh keadaan desain didaktik yang digunakan atau intervensi didaktik dari guru (Suryadi, 2015).
Cornu membedakan empat jenis hambatan yaitu hambatan kognitif, hambatan genetik dan psikologis, hambatan didaktik, dan hambatan epistemologis (Sukirno & Ramadhani, 2016). Lebih lanjut menurut Cornu, hambatan kognitif terjadi ketika siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran. Hambatan genetik dan psikologis terjadi sebagai akibat dari perkembangan pribadi siswa. Hambatan didaktik terjadi karena guru mengajarkan kodrat, dan hambatan epistemologis terjadi karena kodrat konsep matematika itu sendiri.
Dalam Maudy, Suryadi, dan Mulyana (2017), Herscovics menjelaskan bahwa perkembangan pengetahuan ilmiah individu mengalami banyak masalah epistemologis, dimana skema konseptual pada siswa mengalami kendala kognitif. Herscovics lebih memilih menggunakan istilah batasan kognitif dalam proses pembelajaran dan istilah batasan epistemologis jika mengacu pada masa lalu. Hambatan atau hambatan epistemologis berkaitan dengan hambatan kognitif, hambatan didaktik, dan hambatan ontogenetik.
Hambatan epistemologis pertama kali dikenalkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan oleh Bachelard (Hanafi, 2015). Perkembangan pengetahuan ilmiah terjadi dalam situasi didaktik dan melalui konsep lompatan informasi (Brousseau, 2006). Lompatan informasi adalah perolehan pengetahuan yang tidak dirasakan. Jika lompatan informasi terhambat, kendala epistemologis terjadi. Hambatan epistemologis dapat menyebabkan kemandegan pengetahuan ilmiah bahkan penurunan pengetahuan seseorang. Menurut Hercovics yang diidentifikasi dari karya Bachelard, kendala epistemologis terdiri dari kecenderungan untuk mengandalkan penipuan pengalaman intuitif, kecenderungan untuk menggeneralisasi dan disebabkan oleh penggunaan bahasa alami.
Dalam penelitian ini ditemukan hambatan belajar, terutama hambatan epistemologis dalam menyelesaikan masalah cerita matematika berdasarkan gaya kognitif siswa. Hambatan epistemologis yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kesalahan konsep, kesalahan prosedur, dan kesalahan teknis.
Secara alamiah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah berbeda-beda, sehingga ada kemungkinan kesalahan yang ditimbulkan juga berbeda-beda. Selain itu, siswa juga dapat berbeda dalam cara mereka mendekati situasi pembelajaran, bagaimana menerima, mengatur, dan menghubungkan pengalaman mereka. Siswa memiliki cara yang mereka sukai untuk menyusun apa yang mereka lihat, ingat, dan pikirkan. Perbedaan individu yang permanen dalam cara mengumpulkan dan mengelola informasi dan pengalaman dikenal sebagai gaya kognitif. Woolfolk menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan cara seseorang menerima dan mengatur informasi dari lingkungan sekitarnya (Hidayat, Sugiarto, & Pramesti, 2013). Perbedaan gaya kognitif terkait dengan cara seseorang merasakan, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, membuat keputusan, yang mencerminkan kebiasaan bagaimana informasi diproses.
Dalam Hidayat et al. (2013), Woolfolk menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan cara seseorang menerima dan mengatur informasi dari lingkungan sekitarnya. Perbedaan gaya kognitif terkait dengan cara seseorang merasakan, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, membuat keputusan, yang mencerminkan kebiasaan bagaimana informasi diproses. Dalam Uno (2006), Ausburn merumuskan bahwa gaya kognitif mengacu pada proses kognitif seseorang yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, pengetahuan, persepsi, pemikiran, imajinasi, dan pemecahan masalah.
penulis : Nina Afriliani_1F_PGSD
NIM : 2001025343
Sumber : Sebagaimana telah dibahas dalam Jurnal Inovasi Pendidikan Dasa FKIP UHAMKA.